Jumat, 22 April 2016

Wajah Baru Gili Labak; Antara Promosi Wisata dan Konservasi Alam.

April 2016 ini adalah perjalanan kedua mengunjungi Gili Labak dan bebarengan dengan musim penghujan. Pertama kali datang ke pulau yang terletak di Madura ini adalah pada bulan November dan masih musim panas/kemarau. Dalam jangkau waktu 5 bulan sejak kunjungan pertama, Gili Labak telah mengalami banyak perubahan dan beberapa diantaranya membuat saya kaget. Saya yang mengajak beberapa teman sedikit kecewa dengan perubahan yang terjadi, pulau yang saya anggap surga kecil ini perlahan menyurutkan pesonanya.

Keuntungan datang ke beberapa tempat wisata termasuk ke Gili Labak pada musim hujan adalah jumlah pengunjung yang tidak sebanyak ketika musim panas/high session. Meskipun terbilang masih ramai tapi jauh berkurang drastis jika dibandingkan dengan kunjungan saya yang pertama. Keuntungannya bisa lebih puas menikmati pulau tanpa banyak orang yang berlalu lalang tapi kerugiannya adalah cuaca yang berawan dan cenderung mendung membuat tingkat visibilitas atau pandangan di dalam air jadi rendah karena tidak ada cahaya matahari.

Sebenarnya bukan itu yang membuat saya kecewa ketika datang lagi ke Pulau Gili Labak. Kekecewaan pertama yang muncul bahkan sebelum saya turun dari kapal dan mendarat di pulau. Dulu sebelum perahu bersandar siapapun bisa melihat karang-karang cantik yang warna-warni dan sehat, ikan-ikan berenang bebas dalam jumlah yang cukup banyak sampai kita kesulitan menghitungnya. Ketika perahu mulai mendekati pulau saya sudah antusias dan melihat ke air untuk menyambut teman-teman kecil tapi kenyataannya karang dan terumbu karang patah, rusak, dan kerusakannya benar-benar jelas. Dugaan saya terumbu karang ini patah karena jangkar yang dilemparkan perahu ketika bersandar di pulau. Tidak hanya satu atau dua perahu tapi puluhan jumlahnya hanya dalam sehari, kalikan jumlahnya apabila perahu melempar jangkar setiap hari. Dalam kurun waktu yang sebentar terumbu karang di tepi pulau rusak dan mati. 

Pulau yang ukurannya kecil ini menyimpan pesona bawah laut yang indah, tapi lagi-lagi kekecewaan saya muncul ketika snorkling. Dulu jika ingin melihat terumbu karang cantik dan bermacam-macam bentuknya bahkan melihat nemo dengan rumahnya tidak perlu snorkling terlalu jauh dari pulau. Hanya snorkling di pinggiran kita sudah disuguhkan keindahan yang luar biasa, nyatanya kemarin saya harus snorkling ke tempat yang dalam untuk melihat terumbu karang dan bahkan saya hanya melihat satu nemo dengan rumahnya. Dulu saya menemukan banyak nemo yang bersembunyi di rumahnya dan itu tidak hanya di satu atau dua spot tapi di beberapa tempat, sekarang kebanyakan yang saya lihat terumbu karang patah, rusak karena aktivitas manusia. 

Gili Labak sudah jadi objek wisata terkenal saat ini tapi saya belum menemukan penjaga pantai atau petugas keamanan di pulau. Saya rasa penjaga pantai sangat diperlukan Gili Labak, terutama untuk menjaga ekosistem bawah laut dan menindak pengunjung 'nakal'. Banyak pengunjung yang tidak sadar bahwa terumbu karang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk tumbuh 1 cm saja. Tidak adanya penjaga pantai, plang-plang peraturan atau tata tertib untuk mengedukasi pengunjung juga tidak ditemukan, saya juga yakin hanya sedikit sekali tour guide yang memberikan penjelasan pentingnya terumbu karang dan larangan menginjak bahkan mematahkan. Akibatnya banyak pengunjung yang dengan santainya berdiri diatas terumbu karang, menginjak, bahkan mematahkan. Coba bayangkan banyaknya jumlah pengunjung dan hanya sedikit yang sadar pentingnya menjaga terumbu karang, Gili Labak akan jadi pulau dengan keindahan terumbu karang yang patah. Luar biasa menyeramkan bagi saya.

Sepertinya Gili Labak perlu belajar dari lembaga konservasi di lingkungan Pantai Gatra-Clungup-3 Warna yang memiliki penjaga pantai dan menerapkan peraturan dengan tegas. Di kawasan pantai yang dikelola oleh lembaga konservasi ini ramai dikunjungi tapi alam masih tetap terjaga dan tak ada satupun sampah yang terlihat. Peraturan dan tindakan tegas bagi siapapun yang melanggar membuat pengunjung mau tidak mau ikut disiplin dan dampak baiknya lingkungan menjadi terawat dan pantai bebas dari sampah. Bahkan petugas menerapkan sistem libur, di hari tertentu kawasan pantai perlu mendapatkan recovery dan tidak diperbolehkan pengunjung untuk datang.

Ada perubahan menyenangkan yang saya suka di Gili Labak, di sekitar tempat penduduk berjualan dan gazebo-gazebo yang bertebaran di tepi pantai banyak ditanami pohon semacam pinus. Pohon-pohon ini dirawat dan ditata sehingga memperindah pulau dan di masa depan akan menjadi tanaman yang mengurangi panas.

Ketika berkeliling pulau saya menjumpai warga lokal sedang menyapu pantai, menyapu dan memisahkan sampah dengan pasir pantai. Dengan peralatan seadanya mereka berkumpul membersihkan sampah-sampah dan membuangnya di tempat sampah yang mulai banyak tersedia. Saya salut dengan kearifan lokal dan kepedulian penduduk yang mau bekerja keras membersihkan lingkungan pantai meskipun hanya berbekal sapu lidi. Tapi lagi-lagi saya kecewa dengan pengunjung yang dengan santainya membuang sampah sambil tertawa tanpa punya rasa bersalah sedikitpun. Jika memang tidak punya tenaga untuk membantu membersihkan pulau setidaknya simpan sampahnya sendiri sampai nanti menemukan tempat sampah dan dibuang langsung disana. 

Promosi pariwisata yang gencar dilakukan untuk mendongkrak pendapatan daerah maupun pendapatan penduduk lokal perlu diimbangi dengan rehabilitasi dan konservasi lingkungan. Bisa saja beberapa tahun ke depan wajah Gili Labak akan berubah menjadi gemerlap dengan serbuan wisatawan yang tidak henti-hentinya mengeksplorasi alam. Penduduk lokal bisa saja bahagia, tapi bagaimana dengan penduduk di dalam air yang umurnya bahkan lebih tua dari kita, apa mereka pantas menerima eksplorasi besar-besaran? Apa mereka siap digusur dari rumahnya sendiri yang awalnya tentram dan nyaman?

Pembangunan yang besar-besaran, mengeruk keuntungan maksimal tanpa dibarengi dengan kesadaran penduduk, edukasi terhadap wisatawan, konservasi dan kepedulian terhadap alam akan memicu bom waktu dikemudian hari. Bahkan kabarnya akan ada pengembang yang siap membeli Gili Labak dan merubah 'wajahnya' habis-habisan. Lantas bagaimana kabar teman-teman kita di lautan? Apa mereka sudah dimintai pendapat dan saran? 

Saya rasa tak hanya manusia, ikan dan terumbu karang-pun butuh liburan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Upgrade SJCAM

SJCAM merupakan salah satu merek action cam yang banyak digemari di Indonesia. Action cam ini dibanderol dengan harga yang tidak terlalu mah...